Kompasiana.com
Inilah rekor tersingkat pemeriksaan saksi oleh KPK. Sekjen DPR RI
Winantuningtyastiti pagi ini dipanggil KPK sebagai saksi untuk tersangka
kasus dugaan suap impor daging sapi, Maria Elizabeth Liman Direktur
Utama PT Indoguna Utama. Kurang dari satu jam, Winantuningtyastiti sudah
melenggang keluar dari ruang penyidik KPK, padahal
ada 24 pertanyaan yang diajukan oleh penyidik. Bayangkan, jawaban
seperti apa untuk pertanyaan sebanyak itu yang diselesaikan hanya dalam
waktu kurang dari 1 jam. Tentulah berupa jawaban minimalis untuk
pertanyaan dengan tipe close question. Ternyata benar, hampir seluruh
pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab dengan “tidak tahu” oleh
Winantuningtyastiti.
Lantaran itu, Titi mengaku bingung. Sebab,
dirinya tak pernah mengurus dan berkaitan dengan perkara yang menyeret
Luthfi dan Maria. “Ya itu hubungan Maria Elizabeth dengan impor daging.
Padahal saya tidak kenal beliau,” tutupnya.(metronews.com, 18/6/2013)
Dia menuturkan, tidak pernah mengenal Maria Elizabeth apalagi
berhubungan. Tak hanya itu Winantuningtyastiti juga mengaku tidak
mengetahui apakah Maria ada hubungan dengan mantan Presiden PKS Luthfi.
“Itu juga saya tidak tahu. Saya tidak berhubungan dan tidak pernah
berkaitan apapun,” ucapnya. [mvi] (inilah.com, 18/6/2013)
Winantuningtyastiti mengakui bahwa dia juga ditanya penyidik mengenai peran mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
“Rata-rata ditanya kaitannya tentang impor daging itu dengan Pak
Luthfi. Nah saya tidak tahu,” ujar Winantuningtyastiti di Gedung KPK,
Selasa (18/6/2013).
Hal ini menunjukkan bahwa KPK sebenarnya
masih belum punya bukti yang cukup bagi tersangka LHI, padahal sudah
dilimpahkan ke penuntutan dan sepekan lagi akan di sidang. Semestinya
KPK sudah memiliki konstruksi yang utuh untuk perkara ini, sehingga
semua terdakwa bisa disidang dalam satu paket.
Ketidaksiapan
KPK juga tergambar pada sidang kasus ini di pengadilan Tipikor untuk
terdakwa, Juard dan Arya. KPK tampaknya tidak membekali jaksa penuntut
dengan bukti yang valid. Walhasil jaksa lebih banyak beropini, bahkan
melakukan manipulasi dalam surat dakwaan, sebagaimana berikut ini:
“Ahmad lalu menghubungi Luthfi dan mengatakan duit pemberian dari Maria
sudah diterima. Fathanah juga mengatakan, ‘Ustad bisa bertemu nanti
malam? Ini penting. Sangat menguntungkan.’ Luthfi menjawab, ‘Iya, iya
nanti. Ana lagi di atas panggung, lagi seminar’,” lanjut Jaksa Rum
(jpnn.com, Rabu, 12 Juni 2013).
Demikian penafsiran jaksa atas
bukti rekaman pembicaraan AF dan LHI. Sekarang simaklah transkrip
lengkap pembicaraan tersebut, apakah benar Ahmad menghubungi Luthfi dan
mengatakan duit pemberian dari Maria sudah diterima.
3535 (Ahmad): Malaikum Akh, haloo
0797 (Luthfi): Ya..ya..
3535: Ke mana antum entar malam?
0797: Ada
3535: Aaa?
0797: Ada..ada..
3535: Ada di anu? Di kantor?
0797: Eeee.. sama dateng mau ngajak, mau ngajak makan sama-sama Ibu Erna (menurut LHI, maksudnya Ibu ana-pen)
3535: Duh, ajak-ajak ke itu, ke anu yuk, ke ini, ke Senayan itu loh
0797: Jam sembilan malam, susah nih
3535: Aaa?
0797: Jam sembilan malem, susah…
3535: Oo.. jadi makan di mana?
0797: Ya nanti SMS-an
3535: Ya udah
0797: Ya.. ada yang baru?
3535: Ada..tapi masih di Medan, kau suruh upik ambil apa dibantu sama
Saud, tuh baru bisa keluar. Trus saya itu..apa..ee..Ibu EL itu
0797: Ya ya..nanti
3535: Aa?
0797: Ya ya nanti, ane lagi di seminar
3535: Entar..entar malam..ada penting banget juga akh, uhh sangat menguntungkan
0797: Yaa, anu.. lagi di seminar ini.. nanti malam
3535: Thayib akh, ana tungguin, ana ud.. abis MRI, kemarin..saya lihat hasilnya hari ini..ana masih di RSPP
0797: Anu..lagi di seminar..lagi di seminar..di atas panggung
3535: Rumah sakit pertamina, thoyib akh..
0797: Ana lagi di atas panggung ini..
3535: Khair.. jadi artis lagi..
Percakapan selesai. (detik.com, 17/5/2013)
Pada rangkaian pembicaraan di atas, jelas bahwa sama sekali tidak ada
pernyataan Ahmad kepada LHI bahwa “duit pemberian dari Maria sudah
diterima”, sebagaimana didakwakan jaksa. Nyatalah adanya manipulasi oleh
jaksa dalam menulis surat dakwaan.
Benarkah tafsir jaksa bahwa
seolah-olah LHI mengiyakan untuk bertemu Ahmad (untuk melakukan serah
terima uang). Transkrip pembicaraan tidak menunjukkan indikasi bahwa
sebelumnya mereka telah membuat janji untuk bertemu, yakni dengan asumsi
AF diutus mengambil uang oleh LHI dan beliau dalam posisi menunggu atau
bersiap untuk menerimanya.
Pernyataan LHI, “Ya ya nanti, ane
lagi di seminar”, tidak bisa dimaknai tunggal, yakni “iya” untuk
bertemu, tapi bisa pula berarti “iya” untuk dihubungi lagi nanti, dan
bisa pula diartikan hanya sebagai kata-kata pemutus pembicaraan saja
karena beliau sedang sibuk. Faktanya LHI memang sedang di atas panggung,
suasana bising, tentunya tidak kondusif. Bahkan LHI jelas menyatakan
keberatan untuk bertemu karena kesibukan tersebut dan waktu yang sudah
terlalu malam.
Adapun pernyataan AF, “Entar..entar malam..ada
penting banget juga akh, uhh sangat menguntungkan”, justru menunjukkan
bahwa AF sebenarnya hendak mengabarkan/menawarkan sebuah informasi baru.
Kalimat tersebut tidak mengindikasikan suatu hal yang sebelumnya sudah
mereka rencanakan, misalnya penerimaan uang Rp. 1 milyar, sebagaimana
yang disangkakan jaksa.
Rekaman percakapan di atas juga bisa
menjelaskan kenapa malam itu penyidik KPK langsung menangkap AF tanpa
menunggu bertemu LHI. Hal ini tentu setelah penyidik KPK meyakini bahwa
AF tidak akan bertemu LHI malam itu, mengingat LHI yang sedang sibuk dan
keberatan untuk ditemui. Sementara itu AF ternyata juga telah memilih
acara lain, yakni menghabiskan malam bersama Maharani.
Dengan
demikian, jika jaksa KPK jujur, sebenarnya KPK tidak punya bukti bahwa
LHI tidak menerima uang karena terhalang. Bisa jadi penyidik KPK tetap
mengeksekusi penangkapan AF karena instruksi pimpinan yang berkeyakinan
LHI sudah cukup dijerat dengan mengandalkan delik trading in influence.
Uniknya, Jaksa malah menuduh terdakwa dan para saksi, telah berdusta.
Hal ini dilontarkan jaksa KPK tersebut lantaran BAP Ahmad Fathanah telah
bocor dan diduga dibaca para terdakwa. Jaksa tidak selayaknya hanya
beropini, sebagai pihak yang menuduh, jaksa tentu harus mampu
membuktikan tuduhannya.
Ketidakcermatan atau bisa jadi ketidakjujuran Jaksa, berlanjut dalam hal jumlah uang suap yang didakwakan.
“Terdakwa telah memberikan sesuatu berupa uang yang seluruhnya
berjumlah Rp 1,3 miliar kepada Fathanah sebagai perantara untuk
keperluan Luthfi yang menjabat anggota Komisi I DPR dan Presiden PKS
terkait penambahan kuota impor daging sapi,” ucap jaksa M Rum (Kompas,
Rabu, 12 Juni 2013).
Sayangnya, jaksa penuntut umum tidak
menerangkan secara jelas dan jujur kronologis uang tersebut yang
dilakukan melalui dua kali pemberian, yakni pertama Rp. 300 juta dan
kedua Rp. 1 milyar.
Pertama, uang Rp.300 juta.
Menurut
kesaksian AF, uang tersebut dia ambil untuk kepentingannya sendiri.
Sementara itu jaksa tidak memiliki bukti bahwa uang tersebut sampai ke
tangan LHI.
“Saya desak Elda untuk membantu Safari Dakwah,
Rp300 juta. Waktu bertemu Ustadz Luthfi, saya bilang ada bantuan, tapi
tidak ditanggapi. Uang itu saya ambil kembali, saya pakai sendiri,” kata
Ahmad Fathanah dalam kesaksiannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta Selatan, Jumat (okezone.com,16/5/2013).
Jika jaksa jujur mengakui tidak punya bukti, tentu uang Rp. 300 juta tersebut tidak bisa disangkakan tertuju untuk LHI.
Kedua, uang Rp. 1 milyar.
Faktanya, bahagian dari uang tersebut sebesar Rp.10 juta jelas
diberikan AF kepada Maharani, Rp. 10 juta lagi masuk kantong AF, sisanya
sebesar Rp. 980 juta disita oleh KPK.
Sampai di sini, jelas
dakwaan jaksa tidak cermat dan tidak jujur dalam hal jumlah uang yang
layak disangkakan terhadap LHI. Padahal syarat materiil dakwaan
sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang pasal 143 KUHAP, bahwa surat
dakwaan harus disusun dengan jelas, lengkap dan cermat.
Selanjutnya, untuk sisa uang sejumlah Rp. 980 juta, apakah benar
ditujukan dan akan diterima oleh LHI, namun tidak sampai karena
terhalang ?.
Untuk itu jaksa harus mampu membuktikan bahwa
proses memberi dan menerima janji benar-benar telah terjadi. Bukti bisa
dikatakan valid jika menunjukkan secara jelas akad yang dimaksud, yakni
semacam ijab-qabul antara pihak yang memberi dan menerima janji. Sejauh
ini jaksa KPK tidak memiliki bukti, kecuali pernyataan sepihak AF di
dalam rekaman yang tidak dikomfirmasi oleh LHI. Jaksa hanya mengandalkan
persepsi dan analisis semata.
Ketidaksiapan KPK juga terlihat
dalam penggunaan pasal-pasal. Tim jaksa KPK mendakwa Juard dan Arya
telah melanggar Pasal 5 Ayat 1 Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Untuk itu Jaksa meminta majelis hakim menghukum kedua terdakwa dengan
pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp200 juta subsidair
empat bulan.
Berikut ini substansi korupsi pada Pasal 5 ayat 1b yang dimaksud:
“memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya”
Terdapat lima unsur yang menjadi rukun bagi terpenuhinya tindak pidana korupsi menurut pasal tersebut, yakni:
1. Setiap orang
2. Memberi sesuatu
3. Pegawai negeri atau penyelenggara negara
4. Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
5. Bertentangan dengan kewajibannya
Pasal 13 mempertegas lagi keterkaitan antara jabatan dengan wewenang
untuk bisa dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, sebagai berikut:
“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut”.
Jaksa KPK secara sadar menyebut posisi LHI sebagai anggota komisi I DPR.
Sebagaimana dinyatakan dua saksi ahli di persidangan, maupun pendapat
jumhur pakar hukum di banyak media, bahwa dalam hal ini jabatan LHI di
komisi I tidak berhubungan dengan impor daging dan bukan pula mitra
kerja Kementan. Bahkan masalah kuota impor daging, bukanlah domain DPR.
Maka, unsur korupsi poin ke 4 dan ke 5 pada pasal tersebut jelas belum
terpenuhi. Artinya, jika jaksa bersikap jujur, pasal 5 tidak memenuhi
syarat untuk kasus ini.
Adapun jika jaksa mendakwa LHI telah
menyalahgunakan jabatan sebagai presiden PKS, maka jabatan presiden
partai menurut pendapat dua saksi ahli maupun pakar hukum lainnya,
bukanlah penyelenggara negara. Artinya, jika jaksa jujur, pasal 5
(maupun pasal 13) tidak bisa dipakai karena unsur ke 3 tidak terpenuhi.
Barangkali benar sinyalemen penasehat hukum terdakwa, Bambang Hartono, berikut ini:
“Yang saya dengar sih KPK masih coba-coba menerapkan delik itu (trading
influence, red). Karena di Indonesia memang belum diterapkan,” ujar
Bambang. (jpnn.com, Rabu, 12 Juni 2013).
Jika demikian, apa dasar hukum bagi jaksa menuntut terdakwa dengan ganjaran 4 tahun 6 bulan dan denda?.
Trading in influence belum ada undang-undangnya. Jika jaksa jujur,
tentu tidak relevan menggunakan pasal 5 untuk menetapkan sangsi
hukumnya, yakni maksimal lima tahun penjara.
Pembuktian dalam Hukum Pidana
Pasal 183 KUHAP menyebutkan: ” hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) yaitu:
1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat;
4. petunjuk; dan
5. keterangan terdakwa.
Baik keterangan saksi, keterangan saksi ahli, dan keterangan terdakwa
pada kasus impor daging, semuanya menepis tuduhan jaksa. Adapun petunjuk
yang dimiliki KPK masih sangat samar dan tidak cukup valid untuk
menjerat terdakwa. Padahal KPK melalui jubirnya, Johan Budi, sebelumnya
menyatakan bahwa KPK memiliki dua alat bukti yang “firm” untuk kasus
impor daging ini. Jujurkah KPK dalam hal ini, mana dari kelima alat
bukti yang sah menurut undang-undang tersebut, dianggap “firm” oleh KPK
?.
Bahwa jaksa berpendapat LHI melakukan perbuatan yang cukup
aktif bersama-sama Fathanah guna mendukung kepentingan PT Indoguna dalam
mendapatkan persetujuan penambahan kuota impor daging, tentunya
pembuktian kebenaran materiil pidana korupsi tidak cukup hanya dengan
opini dan analisis.
Bagaimana bisa dikatakan telah terjadi
pidana korupsi, jika jaksa tidak punya bukti LHI telah menerima uang
dari terdakwa atau tidak menerima karena terhalang oleh penangkapan AF.
Jaksa juga tidak punya bukti adanya akad pemberian dan penerimaan janji
antara terdakwa dan seorang penyelenggaran Negara.
Prof. Romli mensinyalir KPK akan kesulitan dalam kasus impor daging dan tanda-tanda itu telah nampak.