Syaikh Muhammad Shalih Al Munajid dalam kasus wudhu mengatakan, bahwa batasan wajah adalah dari ujung tempat tumbuhnya rambut hingga ujung dagu dan lebarnya dari telinga ke telinga, hal ini adalah kesepakatan ulama.
Yaitu batasan dari segi bahasa (Arab) yang dengan bahasa itu Allah menurunkan Al Quran. Maka dengan demikian, ciri dan batasan wajah berdasarkan dua dalil syar’i;
- Dari sisi kesepakatan (ijma’) para ulama. Dan ijmak mereka merupakan hujjah (landasan dalil).
- Dari sisi bahasa Arab yang dengan bahasa tersebut Allah menurunkan Al Quran, dan dengan bahasa tersebut kita mendapatkan ajaran serta tidak ada pertentangan antara hal tersebut dengan ketentuan syariat.
Pakar bahasa Arab dalam Al Muhith fil Lughah berkata, “Al wajhu, adalah bagian depan segala sesuatu.”
Imam Al Qurthubi yang bermadzhab Malikiyah dalam Al Jami’ li Ahkam Al Quran berkata, “Al wajhu menurut bahasa diambil dari kata ‘al muwajahah’ (berhadap-hadapan), yaitu anggota badan yang meliputi beberapa anggota, memiliki batasan panjang dan lebar; Batasan panjangnya adalah dari ujung kening hingga ujung dagu, sedangkan batasan lebarnya adalah dari telinga ke telinga.”
Sementara itu, ahli tafsir yang lain, Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya mengatakan, “Batasan wajah menurut para ahli fiqih adalah, ‘Panjang: antara tempat tumbuhnya rambut, kepala gundul tidak dianggap, hingga ujung dagu, sedangkan lebar antara kedua telinga.”
Imam An Nawawi, yang bermadzhab Syafi’iyah, dalam Al Majmu’ berkata, “Inilah yang disebutkan pengarang (Asy Syirazi)tentang batasan wajah, pendapat ini benar, dan demikianlah kalangan madzhab kami berpendapat serta dinyatakan pula oleh Asy Syafi’i Rahimahullah dalam kitab Al Umm.” Beliau juga berkata,”Wajah menurut bangsa Arab adalah apa yang didapati saat berhadapan.”
Beliau juga berkata, “Bangsa Arab tidak menamakan wajah kecuali yang berada di muka.”
Imam Asy Syirazi sendiri mengatakan, “Dan wajah itu apa yang ada diantara tempat tumbuh rambut kepala hingga ke dagu dan hujung kedua-dua rahang, secara panjang. Lebarnya pula dari telinga hingga ke telinga satu lagi.”
Syaikh Wahbah Az Zuhaili, ulama kontemporer mengatakan, dalam Fiqih Islami wa Adillatuhu, saat membahas wudhu,”Wajah adalah angota bagian depan pada seseorang. Ukuran panjangnya adaah antara tempat tumbuhnya rambut kepala -dalam keadaan normal- hingga ke bagian akhir dagu, atau dengan kata lain antara permulaan ruang dahi hingga ke bagian bawah dagu. Adapun yang dimaksud dagu adalah tempat tumbuhnya jenggot yang terletak di atas dua tulang rahang bagian bawah. Sedangkan dua tulang rahang adalah dua tulang yang menjadi te,mpat tumbuhnya gigi bagian bawah. Di antara bagian yang termasuk muka adalah dahi seseorang yang ditumbuhi rambut yang dalam bahasa Arab disebut dengan al ghamam. Adapun dua bagian kosong yang berada di samping dahi bagian atas (an naz’atain), tidaklah termasuk bagian muka. An nas’atain dianggap sebagai bagian dari kepala karena kedua-duanya masuk ke dalam kepala.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Batas lebar muka adalah bagian di antara dua anak telinga. Menurut pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafi’i, bagian kosong yang terdapat di antara ujung pipi dan telinga termasuk ke dalam anggota muka. Akan tetapi, ulama madzhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa ia termasuk ke dalam anggota kepala. Termasuk bagian wajah menurut pendapat ulama madzhab Hambali, seperti yang terdapat dalam kitab Al Mughni, adalah bagian yang disebut dengan at tahdzif, yaitu bagian tepi dahi yang ditumbuhi rambut-rambut yang tipis yang terletak di antara ujung pipi dan dahi. Ini disebabkan tempat tersebut berada di bagian wajah. Akan tetapi, An Nawawi mengatakan bahwa menurut yang telah diakui jumhur ulama madzhab Syafi’i, maudhi’ at tahdzif (tempat tumbuh bulu) adalah bagian dari kepala karena rambutnya berhubungan dengan rambut kepala. Penulis kitab Kasysyaful Qina’ dari madzhab Hambali mengatakan bahwa maudhi’ at tahdzif tidak termasuk ke dalam anggota wajah, melainkan ia termasuk ke dalam anggota kepala.”
Kemudian, setelah menjelaskan mengenai bagian-bagian di luar wajah yang harus dilebihkan dibasuh saat membasuh wajah, beliau mengatakan, “Wajib membasuh sebagian kecil bagian kepala, leher, bagian bawah tulang rahang, dan dua telinga.”
Sementara dari madzhab Hanafiyah, Imam Al Kasani berkata dalam Bada’i Ash Shana’i, “Batasan wajah tidak disebutkan dalam riwayat secara zahir, hanya disebutkan dalam kajian ushul bahwa wajah adalah dari awal rambut hingga bawah dagu dan antara kedua telinga. Ini adalah batasan yang benar, karena merupakan batasan yang dapat ditangkap secara bahasa, karena wajah adalah sesuatu yang berada di hadapan manusia, atau apa saja yang biasanya berada di hadapannya menurut bahasa, dan muwajahah (berhadap-hadapan) biasanya terkait dengan batasan ini.”
Dalam kasus wudhu untuk laki-laki, Syaikh Abdul Aziz Muhammad As Salman mengatakan, “Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar.”
Dari apa-apa yang difatwakan oleh para ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa batasan wajah adalah dari pangkal tumbuhnya rambut yang normal hingga ujung dagu, dan dari pangkal kedua telinga. Dalam hal menutup aurat bagi wanita, maka ditutup minimal dari pangkal tumbuhnya rambut yang normal juga untuk lebarnya, karena jika ditutup dengan batas pangkal telinga, maka rambut yang tumbuh di samping wajah (maudhi’ at tahdzif) akan tetap terlihat.
Sedangkan untuk bagian bawah dagu, yakni yang berada di bawah tulang rahang maka hal tersebut bukan termasuk wajah, sehingga ia termasuk dalam aurat. Dan untuk keperluan menutup aurat, ia wajib ditutup. Hal ini sebagaimana difatwakan oleh Mufti Perlis Malaysia Dr. Djuanda bin Jaya dan Ustadz Azhar Idrus, keduanya bermadzhab Syafi’i.
Sedangkan, dalam kitab Qurratul ‘Ain bi Fatawi Isma’il Az Zain, disebutkan bahwa dalam madzhab Syafi’iyah, jika seorang wanita shalat dan bagian bawah dagunya terlihat, maka shalatnya tidak sah. Namun, menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, shalatnya tidak batal dan tetap sah.
Disebutkan, “Adapun menurut ulama-ulama yang lain, seperti tokoh-tokoh madzhab Hanafiyah dan Malikiyah: Sesungguhnya daerah tubuh di bawah janggut dan semisalnya tidak di anggap membatalkan shalat jika terbuka, seperti halnya dapat kita ketahui pendapat-pendapat itu dari kitab-kitab karya mereka. Karenanya, jika hal itu (terlihatnya dagu wanita saat shalat) terjadi di kalangan wanita-wanita awam yang belum mengerti dengan tatacara madzhab Syafi’i, maka shalatnya tetap sah karena orang awam sulit berpedoman dengan satu madzhab saja. Bahkan sekalipun hal itu terjadi pada para wanita yang menguasai aturan madzhab Syafi’i, maka shalatnya tetap dianggap sah juga, karena para ulama madzhab itu berada dalam naungan hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah berkenan membalas mereka dengan kebaikan atas jasa-jasanya terhadap kita.”
Allahu a’lam.
Sumber:
Batas Wajah: Bawah Dagu Batas Aurat? Penulis: Abu Saif Kuncoro Jati (Priyayimuslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, sekaligus berkenalan... Terima kasih