Oleh : Yudi Latif, Ph.D*
“Keadilan adalah kebenaran dalam tindakan." Ungkapan Benjamin Disraeli itu bisa menjadi panduan bagi para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Dalam tuntutan untuk menjalankan kebenaran dalam tindakan itu, penegak hukum, seperti digariskan oleh Magna Charta "Tidak pada siapa pun akan menjual, atau menolak, atau menunda hak atau keadilan."
Bagi penegak hukum, bertindak benar berarti melihat masalah dari sudut pandang hukum dan keadilan. Penegak hukum yang benar akan melihat politik sebagai masalah hukum-keadilan, bukan melihat hukum-keadilan sebagai masalah politik. Ketika hukum-keadilan dipandang sebagai masalah politik, penegakan hukum menjadi masalah selera dan kepentingan; bisa dijual kepada yang kuat, bisa disangkal kepada yang lemah, bisa ditunda kepada yang bisa tawar-menawar. Buahnya adalah ketidakadilan.
Tendensi seperti itu sangat mencemaskan bila tebersit dari perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi tumpuan harapan rakyat. Dalam kasus mega-korupsi dengan bobot politik yang tinggi seperti skandal Bank Century, KPK bertindak kelewat lambat, terkesan menjadikan masalah hukum sebagai masalah politik dengan "menjual" keadilan kepada yang kuat. Dalam kasus dugaan korupsi impor daging sapi, KPK malah bertindak kelewat bersemangat melampaui batas, dengan menjadikan masalah "kelamin" yang berdimensi politis sebagai masalah hukum.
KPK harus bertindak atas dasar realitas hukum. Tak peduli ulama dan partai Islam sekalipun, jika fakta hukumnya terbukti melakukan tindakan korupsi, sudah seharusnya mendapatkan hukuman. Namun, KPK tidak boleh bertindak atas dasar hiper-realitas, menghukum orang/institusi dengan fakta nonhukum; lewat rekayasa kesan (impression management) untuk menghukum orang/institusi dengan persepsi publik. Apalagi, jika pengelolaan kesan ini menabrak kepatutan etis, political corectness, yang dapat melecehkan jenis kelamin tertentu atau menghancurkan reputasi dan masa depan orang yang belum tentu bersalah.
Asas keadilan menyatakan, "Jangan sampai kebencianmu pada suatu kaum membuatmu berbuat tidak adil." Dengan tindakan KPK yang melampaui batas, individu atau partai yang pantas mendapat hukuman publik karena perbuatan korupsinya bisa saja justru mendapatkan simpati publik. Jika itu yang terjadi, KPK gagal menegakkan hukum karena hukuman harus melahirkan efek jera dan disosiasi publik kepada yang bersalah, bukan efek simpati publik.
Apa yang tebersit dari perangai KPK beserta perluasan kejahatan korupsi yang ditanganinya itu sesungguhnya sekadar puncak gunung es dari krisis yang lebih mendalam, yakni lemahnya kekuatan "melek moral" (moral literacy) pada bangsa ini. Peningkatan semangat beribadah dan rumah peribadatan serta perkembangbiakan undang-undang tidak disertai oleh penguatan sensitivitas pada nilai-nilai etika-moralitas.
Rendahnya tingkat melek moral ini membuat bangsa Indonesia kekurangan rasa malu dan rasa kepantasan sehingga ambang batas moral semakin tipis. Dalam kehidupan publik yang sehat ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Namun, dalam kenyataan hari ini, cuma sedikit yang masih tersisa. Hampir semua hal cenderung dikonversikan dengan nilai uang.
Memberi harga pada institusi-institusi kebajikan publik mengandung daya korosif dan koruptif bagi perkembangan bangsa. Hal itu karena uang (pasar) bukan saja mengalokasikan barang tetapi juga memengaruhi sikap manusia dan nilai barang yang diperjualbelikan. Melelang bangku sekolah kepada pembayar tertinggi memang bisa meningkatkan keuntungan, tetapi juga melunturkan integritas dunia persekolahan dan nilai ijazahnya serta merusak prinsip kesetaraan meritokratis. Menyewakan "kenyamanan" sel tahanan kepada koruptor berduit tidak bisa diterima karena tahanan bukanlah tempat pelesiran, melainkan tempat hukuman-rehabilitasi sosial. Memberi kenyamanan kepada tahanan menempatkan kejahatan sebagai sesuatu yang mulia.
Pilihan politik bukan untuk diperjualbelikan. Kewajiban kewargaan tidak sepatutnya dianggap sebagai properti perseorangan yang bisa dijual, tetapi harus dipandang sebagai pertanggungjawaban publik. Menjual hak pilih menjadikan urusan publik dikendalikan kekuatan privat. Ayat-ayat kitab suci bukan untuk diperjualbelikan karena pemanipulasian pesan-pesan keilahian bagi kepentingan murahan mencerminkan korupsi terdalam terhadap sumber moralitas. Sebab, hal itu akan membuat warga kehilangan kepercayaan kepada apa pun dan siapa pun.
Tanpa basis moral kuat, negara hukum menyimpan banyak kemungkinan kebuntuan karena konstitusi kita memberikan kepercayaan besar kepada moral penyelenggara negara. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, "Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur." Profesor Soepomo mengatakan, “Sudah tentu orang-orang menjadi Staatman, menjadi pegawai negara yang begitu tinggi harus mempunyai perasaan tanggung jawab, bukan saja kepada diri sendiri, akan tetapi juga kepada umum."
Krisis penyelenggaraan negara kini terletak pada krisis moral. Krisis moral penyelenggara negara itu mencerminkan rendahnya tingkat literasi moral di masyarakat. Bangkit dari keterpurukan harus dimulai dari gerakan "keutamaan budi", Budi Utomo. Itulah khitah sejarah kebangkitan kita! [pkspiyungan.org]
*Sumber: KOMPAS cetak (28/5/2013) hal. 15
*Biografi : yudilatif.wordpress.com/
“Keadilan adalah kebenaran dalam tindakan." Ungkapan Benjamin Disraeli itu bisa menjadi panduan bagi para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Dalam tuntutan untuk menjalankan kebenaran dalam tindakan itu, penegak hukum, seperti digariskan oleh Magna Charta "Tidak pada siapa pun akan menjual, atau menolak, atau menunda hak atau keadilan."
Bagi penegak hukum, bertindak benar berarti melihat masalah dari sudut pandang hukum dan keadilan. Penegak hukum yang benar akan melihat politik sebagai masalah hukum-keadilan, bukan melihat hukum-keadilan sebagai masalah politik. Ketika hukum-keadilan dipandang sebagai masalah politik, penegakan hukum menjadi masalah selera dan kepentingan; bisa dijual kepada yang kuat, bisa disangkal kepada yang lemah, bisa ditunda kepada yang bisa tawar-menawar. Buahnya adalah ketidakadilan.
Tendensi seperti itu sangat mencemaskan bila tebersit dari perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi tumpuan harapan rakyat. Dalam kasus mega-korupsi dengan bobot politik yang tinggi seperti skandal Bank Century, KPK bertindak kelewat lambat, terkesan menjadikan masalah hukum sebagai masalah politik dengan "menjual" keadilan kepada yang kuat. Dalam kasus dugaan korupsi impor daging sapi, KPK malah bertindak kelewat bersemangat melampaui batas, dengan menjadikan masalah "kelamin" yang berdimensi politis sebagai masalah hukum.
KPK harus bertindak atas dasar realitas hukum. Tak peduli ulama dan partai Islam sekalipun, jika fakta hukumnya terbukti melakukan tindakan korupsi, sudah seharusnya mendapatkan hukuman. Namun, KPK tidak boleh bertindak atas dasar hiper-realitas, menghukum orang/institusi dengan fakta nonhukum; lewat rekayasa kesan (impression management) untuk menghukum orang/institusi dengan persepsi publik. Apalagi, jika pengelolaan kesan ini menabrak kepatutan etis, political corectness, yang dapat melecehkan jenis kelamin tertentu atau menghancurkan reputasi dan masa depan orang yang belum tentu bersalah.
Asas keadilan menyatakan, "Jangan sampai kebencianmu pada suatu kaum membuatmu berbuat tidak adil." Dengan tindakan KPK yang melampaui batas, individu atau partai yang pantas mendapat hukuman publik karena perbuatan korupsinya bisa saja justru mendapatkan simpati publik. Jika itu yang terjadi, KPK gagal menegakkan hukum karena hukuman harus melahirkan efek jera dan disosiasi publik kepada yang bersalah, bukan efek simpati publik.
Apa yang tebersit dari perangai KPK beserta perluasan kejahatan korupsi yang ditanganinya itu sesungguhnya sekadar puncak gunung es dari krisis yang lebih mendalam, yakni lemahnya kekuatan "melek moral" (moral literacy) pada bangsa ini. Peningkatan semangat beribadah dan rumah peribadatan serta perkembangbiakan undang-undang tidak disertai oleh penguatan sensitivitas pada nilai-nilai etika-moralitas.
Rendahnya tingkat melek moral ini membuat bangsa Indonesia kekurangan rasa malu dan rasa kepantasan sehingga ambang batas moral semakin tipis. Dalam kehidupan publik yang sehat ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Namun, dalam kenyataan hari ini, cuma sedikit yang masih tersisa. Hampir semua hal cenderung dikonversikan dengan nilai uang.
Memberi harga pada institusi-institusi kebajikan publik mengandung daya korosif dan koruptif bagi perkembangan bangsa. Hal itu karena uang (pasar) bukan saja mengalokasikan barang tetapi juga memengaruhi sikap manusia dan nilai barang yang diperjualbelikan. Melelang bangku sekolah kepada pembayar tertinggi memang bisa meningkatkan keuntungan, tetapi juga melunturkan integritas dunia persekolahan dan nilai ijazahnya serta merusak prinsip kesetaraan meritokratis. Menyewakan "kenyamanan" sel tahanan kepada koruptor berduit tidak bisa diterima karena tahanan bukanlah tempat pelesiran, melainkan tempat hukuman-rehabilitasi sosial. Memberi kenyamanan kepada tahanan menempatkan kejahatan sebagai sesuatu yang mulia.
Pilihan politik bukan untuk diperjualbelikan. Kewajiban kewargaan tidak sepatutnya dianggap sebagai properti perseorangan yang bisa dijual, tetapi harus dipandang sebagai pertanggungjawaban publik. Menjual hak pilih menjadikan urusan publik dikendalikan kekuatan privat. Ayat-ayat kitab suci bukan untuk diperjualbelikan karena pemanipulasian pesan-pesan keilahian bagi kepentingan murahan mencerminkan korupsi terdalam terhadap sumber moralitas. Sebab, hal itu akan membuat warga kehilangan kepercayaan kepada apa pun dan siapa pun.
Tanpa basis moral kuat, negara hukum menyimpan banyak kemungkinan kebuntuan karena konstitusi kita memberikan kepercayaan besar kepada moral penyelenggara negara. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, "Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur." Profesor Soepomo mengatakan, “Sudah tentu orang-orang menjadi Staatman, menjadi pegawai negara yang begitu tinggi harus mempunyai perasaan tanggung jawab, bukan saja kepada diri sendiri, akan tetapi juga kepada umum."
Krisis penyelenggaraan negara kini terletak pada krisis moral. Krisis moral penyelenggara negara itu mencerminkan rendahnya tingkat literasi moral di masyarakat. Bangkit dari keterpurukan harus dimulai dari gerakan "keutamaan budi", Budi Utomo. Itulah khitah sejarah kebangkitan kita! [pkspiyungan.org]
*Sumber: KOMPAS cetak (28/5/2013) hal. 15
*Biografi : yudilatif.wordpress.com/